Selasa, 27 Maret 2012

permen karet

'ini permen yang sangat enak, Nak. Bentuknya bulat-bulat, warna warni, saat kau memakannya, permen ini akan ikut memberontak di dalam mulutmu. Rasanya manis sekali, kau akan memamerkan gelembung yang bisa dibuat dengan permen ini -- pada teman-temanmu. Ayo cepat ambil.'



nenek Rumpelstilzkin menyodorkan mangkuk di tangannya dan menyuruh Scott mengambil salah satu isinya. Scott belum pernah melihat permen lain selain gula merah yang dicairkan. matanya terlihat berbinar-binar memandang pemberian nenek berhidung mancung bintik-bintik itu. ia tidak ragu, siapa anak-anak yang pernah ragu terhadap permen? kalau kamu ragu, berarti kamu sudah dewasa.

Scott berlari pulang karena hari mulai gelap dan jangkrik bernyanyi kencang menandakan hutan sudah dialihkuasakan. penduduk desa mengatakan jika hari sudah gelap seringkali muncul serigala pemangsa anak kecil, yang bersarang di dekat tempat tinggal nenek Rumpelstilzkin. entahlah, mungkin nenek Rumpelstilzkin yang empunya serigala-serigala itu sehingga tak mungkin ia ikut dimangsa, lagipula ia sudah tua.

sampai dirumah, ibu Scott sedang mengaduk sup asparagus dan ayah Scott membetulkan loteng yang atapnya dimakan rayap. Scott berlari ke kamarnya dan menjaga agar permen karet ini tidak diketahui ayah ibunya. Scott pernah tersedak permen karena begitu senang saat memakannya -- ya, makan sambil tertawa. sehingga ibunya tidak pernah lagi mengijinkan Scott makan permen gula merah. hanya boleh makan sup atau jagung rebus.

perlahan Scott memasukkan permen karet ke dalam mulutnya. sambil terduduk melipat kaki, ia mengunyahnya perlahan. 'Manis sekali......' bisik Scott.

ia mengunyahnya selama beberapa hari. ketika sarapan hingga makan malam, ia menyembunyikan permen karet itu di balik giginya. setelahnya, ia kembali mengunyahnya sampai tertidur.

beberapa minggu setelahnya, Scott bosan karena giginya harus terus melawan permen karet yang menggeliat apalagi, sudah tidak manis lagi. Scott melipat mukanya sambil terus mengunyah.

'awalnya kelihatannya begitu asik, ah tapi aku lelah mengunyah.'

Scott pergi ke tepi danau di dalam hutan dan akhirnya membuang permen karetnya. di balik pohon maple,  nenek Rumpelstilzkin tertawa cekikikan. 'tak akan kuberi lagi sampai kau rela jadi santapan serigala-serigala manisku, Scott...'

kapas

seperti sedang menggenggam permen kapas yang pelan pelan hilang dan lengket di telapak tangan -- aku belum sempat mengunyahnya atau berfoto dengannya, iya seperti tersenyum tenang dan berkata 'kau terlambat, Senja..'

mungkin dia yang datang terlalu pagi, atau mungkin aku yang terlalu banyak tertidur, belakangan ini seperti disihir oleh bantal kuning di sudut kamar yang memaksa untuk ditiduri sampai tengah hari. aku tidak mau minta maaf, lebih baik kita terdiam bersama, dan aku akan memakan tanganku -- yang mungkin masih menyisakan manisnya permen kapas itu.

Rabu, 14 Maret 2012

comfort zone

keluarlah dari comfort zone!

memangnya apa salahnya berdiam di comfort zone? bermain gitar dengan teman-teman lama di depan api unggun? mungkin lebih baik petuah itu ditambah dengan sedikit kalimat,

keluarlah dari comfort zone yang semakin menyesatkanmu!

lalu pelan-pelan mereka yang menyuntikkan kesedihan namun candu, akan pergi ke pusat rehabilitasi.

mari bersalaman, adil kan?

Selasa, 13 Maret 2012

vivo per lei!

tatapan mata yang begitu kuat membuat serasa telanjang. tidak berperisai untuk melawan. memilih pasrah dan menunduk. ini salahku, begitu konklusinya. namun jika sebenarnya tanganmu, yang merupakan perisai abadimu, mampu mengilah tatapan tajam itu, kau bisa tetap pakai baju. malahan bisa tampak seperti pakai baju yang paling kamu sukai, yang ada di toko dekat sekolahmu itu. asal kamu berani, dan kamu percaya kamu benar, dan kamu vokal. mungkin sebenarnya kebenaran itu dekat denganmu, dan kemenangan sedang turun ke atas kepalamu. selamat berjuang.

lamunan seorang J

'................'

kali ini tak sedikitpun kata yang kudengar dari bibirnya. ia memutuskan untuk mengatup dan melipat tangan sepanjang hari itu. meski terdiam, dia sibuk batuk-batuk. aku menawarkan sapu tanganku yang berwarna biru tua dengan sulaman huruf J diujungnya -- namun ia memalingkan muka.

ia selalu bilang dirinya bukanlah tipe vokal. ia memilih meredam emosi lewat wajahnya, seperti menangis ketika sedih, menggemeretukkan gigi ketika marah, bahkan tertawa sampai hampir muntah ia lakukan jika leluconku cukup lucu. ia begitu diam, katanya karena ia terlalu nyaman berada di dekatku sehingga tidak ingin mengucapkan sepatah katapun. namun ini cukup menyiksa, karena aku serasa belum sepenuhnya mengenal sosok manusia yang selalu kugandeng tangannya, selama dua bulan terakhir ini.

lalu kenapa aku memilihnya? insting.

aku percaya dia adalah tulang rusukku yang hilang. tidak usah ditanya lagi. ini harga mati. dia jodohku. aku mungkin konservatif karena menganggap sekali berpacaran untuk selamanya, namun aku bersyukur karenanya. memilihnya, bukan, maksudku menemukannya diantara ratusan ribu manusia yang pernah kutemui, seperti menemukan diriku yang seutuhnya. tubuh dan pikiranku menjadi satu. mengatakan satu. menyuarakan satu. cinta.

aku tersenyum memandang jaring-jaring yang menyelimuti gawang futsal di depanku. lamunanku terpecah karena mendengarnya terbatuk-batuk lagi di sebelah kiriku. ia mengambil tasnya untuk dipeluk erat-erat seolah ingin memohon pada tas itu, untuk mengakhiri batuk yang tak kunjung reda.

'mengapa kau tak memohon padaku? aku kan kuliah kedokteran..' pikirku. tapi mungkin memang saat ini harus seperti ini. merenung sebentar. jika sudah lelah, barulah saling bermaaf-maafan dan kembali pulang ke kasih sayang.

hari ini begitu kosong. belum ada tawanya yang terekam di mataku. aku menunggu. mungkin karena hal itu, ya karena itu. aku melihat kedua tangannya, dan tersenyum getir.

sebuah hari tanpa cat kuku.

Minggu, 04 Maret 2012

bumerang

ada yang patah

senyummu.

awalnya ayunan itu menggendongmu dan mengajakmu tertawa, namun perlahan angin juga setuju untuk menambah alunan maju mundur tubuhmu. kakimu tak kuasa berpijak di tanah setengah basah -- kau menutup mata seolah terbang namun tetap berpegang.

DIAM, ANGIN!

sepertinya angin kerasukan, ayunan merah tua ini membawamu terlalu kencang, kau mencoba untuk tak minta tolong siapapun, dan jangan sampai terjerembap, malu katamu. kau laki-laki, dan tidak mau sekali ditertawai jika kedapatan terjatuh.

hei, kau tak bisa bohong. matamu menyiratkan ketakutan, dan mulut terkatup rapat tertanda ingin sekali muntah, muntah pada angin, pada ayunan, pada tanah setengah basah, dan padaku. kau berusaha bertahan sekencang mungkin melawan angin dengan berpegang pada tali ayunan yang membuatmu berdarah, dan telapak tanganmu terkelupas, kakimu kebas karena tertampar angin. aku menungguimu sampai lima setengah jam kala itu, langit mulai biru tua dan angin ijin pulang karena bosan dan memilih untuk makan malam.

kau bernapas dengan baik dan perlahan melepaskan tali ayunan yang kini berwarna merah, meletakkan dua kakimu di tanah basah, pelan pelan berjalan mengambil balok kayu dan berjalan cepat dan berlari dan berteriak lurus ke arah mataku.

'rasakan itu, bodoh! hati-hati menulis cerita, mereka yang tertuang bisa jadi bumerang!'


lalu aku menikmati bintang dan burung dekat kepalaku, dan cairan berwarna merah pekat. sepertinya aku sudah sampai di tempat istirahat.