Kamis, 26 Desember 2013

bola mata

"mama, mengapa bola mataku selalu basah?"
"sudah tiga hari kamu memandangnya sambil tertawa, sayang. kemarikan wajahmu, mama berikan es ya."
"tidak mau."
"kenapa?"


"mau sampai kapan mama menggantungnya di atas sana? tangannya membiru dan semakin lucu!"

Selasa, 01 Oktober 2013

SEKANTUNG BAWANG.

Aku berlari senang membawa sekantung bawang yang kupetik tadi siang. Seperti lari tunggang langgang namun ada senyum yang mengembang. Enam bulan lamanya aku harus bersabar membawa penggaris dan berjongkok di tengah-tengah ladang – menunggu si bawang matang. Kini sekantung sudah di tangan dan siap untuk kupamerkan.
Kala itu sudah petang dan teman-teman telah menanti di belakang gudang. Ada sungai yang mengalir di samping jalan setapak – menemani degup jantungku. Alirannya beradu dengan bebatuan sehingga bunyi gemericik terdengar menggelitik. “Ini hari bahagia!” teriakku pada langit yang hampir abu-abu.
Seperti satu menit rasanya ketika sedang bahagia dan akhirnya sampai bertemu mereka – lima orang telanjang yang tengah duduk melingkar dan memandangi batu.
“Lihat ini! Ini kebanggaanku! Aku telah menunggunya selama enam bulan, kau pasti ingin juga!”
Mereka perlahan maju dan menghampiriku. Dua orang bergantian membuka kantung yang kusodorkan di hadapan mereka. Mereka terdiam.
Tiga orang lagi bergantian membuka kantungku. Mereka juga diam.

Aku ingin bertanya.

Mereka berpandang-pandangan sebentar. Sontak pecahlah tawa. Aku pun ikut serta! Mereka pasti ingin sekali menanam bawang dan menantinya matang – sepertiku. Ha ha ha!!

Satu orang berteriak padaku dengan lantang, “Kami tidak tertawa bersamamu, bodoh. Tapi kami menertawaimu!” Lalu membuncah lebih keras lagi suara tawa dan cemooh di tengah-tengah mereka. Kali ini tawa itu membentuk bulatan besar, sebesar sapi milik bibi Young, yang meninjuku dengan kuat.

“Kau pikir sekantung bawangmu ini keren? Kau kira dengan modal penggaris dan bersabar kau akan dinobatkan menjadi Mayor? Mungkin kau perlu tidur siang sambil kembali menyusu pada ibumu!” Sahut salah seorang dari mereka sambil terkekeh-kekeh.

Sekantung bawangku direnggut kemudian dibuang ke sungai. Butiran bawang yang besar-besar dan berkilau itu menyeruak dari kantung, ikut mengalir, dan sesekali terantuk batu – membuatku berpikir keras tentang sekantung bawang yang tidak bisa membeli persahabatan.

Langkahku gontai meninggalkan mereka yang masih telanjang dan kembali duduk melingkar lalu memandangi batu. Air mata tidak dapat kubendung karena kecewa. Pandanganku cair. “Mengapa tidak bisa lebih mudah?” tanyaku dalam hati.

Mengapa manusia selalu meminta untuk diberikan kehidupan yang mudah? Jika tidak kenal susah, bukankah akan cepat mati bosan? Hidupmu berpola dan berulang, seperti robot yang dikendalikan.
Permission declined.
Kamu memiliki hati. Memiliki intuisi.
Gunakanlah untuk bertarung melawan ketidakmudahan ini.

Langkahku terhenti. Ada daun kuning yang terjatuh di depan sepatuku. Bagaimana aku tidak tersenyum?

Mereka tertawa karena kamu memiliki sesuatu.
Mereka yang telanjang itu.

Sabtu, 28 September 2013

PESAN KEPADA YANG SAMA.

Pernahkah kau tengah menunggu datangnya kereta dan matamu memandang tajam? Memandang tajam namun tidak tahu, sehingga sekeliling mundur beberapa langkah darimu? Kau seperti ingin menghabisi sesuatu malam itu, sesuatu yang belum habis secara batin, namun dianggap mati dibawa angin.

Mungkin kau tidak sendirian. Mungkin ada beberapa perempuan atau laki-laki yang juga ingin berteriak melalui bola mata mereka. Mungkin sudah terlalu lelah bercerita pada benda-benda fana sehingga baiknya membuat skenario dalam otak saja -- lalu terlihat seperti si gila.

Kamu tidak gila. Dunia yang tidak menerima yang tak sama. Pejamkan matamu sebentar, dia perlu istirahat. Jika kau sempat, kunjungi toko buku dan beli kanvas berbentuk bulat. Taburkan kilauan glitter dan crayon dan cat minyak dan beberapa daun di depan rumah. Cara ini akan membuat mereka yang sedang menggila terasa sedang melakukan hal yang lumrah.

Pesanku, kau masih orang yang sama. Jangan biarkan teriak yang tertahan itu membuatmu tampak seperti orang gila -- lebih baik kau gila dalam karyamu saja.

TUTUP.


Setiap kata punya nyawa.
Entah abu-abu atau merah pekat.
Setiap kata punya sinar.
Entah abu-abu atau merah pekat.
Setiap kata punya nada.
Mereka bernyanyi di otakmu hingga melekat.
Jika dan hanya jika kamu membacanya dalam-dalam.
Di dalam hatimu.
Dengan hatimu.
Namun yang kutahu hati itu sedang kau gadaikan dengan sebongkah batu.

HARUS MAU.


Kali ini sendirian di jalanan menuju tidak tahu. Hari ini dingin, namun mataku berkeringat. Napas terasa berat dan pandangan seperti lukisan Salvador Dali. Sekeliling larut. Larut sampai menurut. Menurut hingga lutut.
Mengapa sendirian rasanya tidak seenak tidur siang?

PEMBURU.


Selalu ada senyum yang menyemburat di antara kedua pipimu. Tersimpan di sana, aman, dan terkunci rapat. Senyum itu bukan untuk siapa-siapa; atau mungkin tertuju pada dia, namun kamu tidak pernah mengutarakannya.

Senyum tidak hanya ada di bibirmu, sorotan matamu yang lugas namun tak kaku juga mengaku. Seperti kepakkan sayap elang menuju mangsa yang berteriak di balik semak, matamu bergelora, menimbulkan rasa yang lebih dingin dari biasanya – menusuk tulang dan menolak untuk pulang.

“Hari ini aku dapat tiga. Kulubangi semua kepalanya. Sekarang duduklah di sini, aku hendak mengasah taringku dulu.”

Rabu, 10 Juli 2013

temporer.

x: loh, sudah berapa tahun aku berdiri?

y: selamat datang. kau kemari dengan pelangi.

x: (mengucek mata) tapi kau tampak berbeda.

y: iya. aku menjadi anemon. aku suka laut. damai sekali.

x: aku tidak begitu bahagia jadi primata. boleh aku jadi anemon juga? kau minum ramuan apa?

y: (tersenyum) minumlah teh hangat ini. kau butuh ketenangan.

x: aku selalu tenang. aku tidak pernah bicara.

y: ini belum saatnya.

x: mengapa menunggu saat yang tepat jika ia tidak pernah ada?

y: primata dijadikan karena sebuah tujuan. tidak serta merta bosan lalu bisa diganti sembarangan.

x: (tertawa) ya, ya, ya. konsep primata yang mencari jati diri. untuk apa, dibawa mati?

y: rasanya kau memang belum mengerti. kemari, aku punya barang bagus.

x: apa itu?

y: gelembung sabun. kau tiup, lalu gelembung akan membelah diri dan berlari-lari.

x: kau ingin aku melepaskan mereka ke udara?

y: hanya sesuai kehendakmu saja. mereka sepertimu. kau mengerti?

x: cairan solid yang dipisahkan untuk kebahagiaan temporer lalu mati kekal? kau bercanda.

y: anemon. jika kau sudah mati karena kebahagiaan temporer, kau akan menjadi anemon.

x: (tersenyum) mengapa kau sebaik ini, teman? aku ingin pulang.

y: baiklah. pintunya di dekat perapian.

x: sampai bertemu lagi.

y: jangan lupa bahagia!


Selasa, 01 Januari 2013

y?





you are my satellite.

Rana membalikkan tangannya kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit pagi. ada kelu di hari ini. sebuah kabut hitam di balik mata sendiri, namun bukan di langit ini. dia masih bersinar terang, masih membuat kening basah, dan menemani beberapa burung gereja beterbangan bersama angin.

Rana lupa. hari ini ada yang hilang. dia terduduk di jalanan dan mengeluarkan seluruh isi tasnya. satu persatu dicermati dan benda itu tak ada. di mana? ia berjalan lurus sembari menghapus peluh yang membasahi karena degupan jantungnya tak mau kalah. Rana berlari kencang dan napasnya tersengal-sengal, ada lelehan air mata di sana, ada ringisan panjang yang tak Rana mengerti. Langkahnya selesai dalam sebuah perhentian. perhentian yang selalu ada dan tak pernah ke mana-mana.


Rana membalikkan tangannya kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit pagi. ada kelu di hari ini. sebuah kabut hitam di balik mata sendiri, namun bukan di langit ini. dia masih bersinar terang, masih membuat kening basah, dan menemani beberapa burung gereja beterbangan bersama angin.


you are my satellite.