Sabtu, 28 September 2013

PESAN KEPADA YANG SAMA.

Pernahkah kau tengah menunggu datangnya kereta dan matamu memandang tajam? Memandang tajam namun tidak tahu, sehingga sekeliling mundur beberapa langkah darimu? Kau seperti ingin menghabisi sesuatu malam itu, sesuatu yang belum habis secara batin, namun dianggap mati dibawa angin.

Mungkin kau tidak sendirian. Mungkin ada beberapa perempuan atau laki-laki yang juga ingin berteriak melalui bola mata mereka. Mungkin sudah terlalu lelah bercerita pada benda-benda fana sehingga baiknya membuat skenario dalam otak saja -- lalu terlihat seperti si gila.

Kamu tidak gila. Dunia yang tidak menerima yang tak sama. Pejamkan matamu sebentar, dia perlu istirahat. Jika kau sempat, kunjungi toko buku dan beli kanvas berbentuk bulat. Taburkan kilauan glitter dan crayon dan cat minyak dan beberapa daun di depan rumah. Cara ini akan membuat mereka yang sedang menggila terasa sedang melakukan hal yang lumrah.

Pesanku, kau masih orang yang sama. Jangan biarkan teriak yang tertahan itu membuatmu tampak seperti orang gila -- lebih baik kau gila dalam karyamu saja.

TUTUP.


Setiap kata punya nyawa.
Entah abu-abu atau merah pekat.
Setiap kata punya sinar.
Entah abu-abu atau merah pekat.
Setiap kata punya nada.
Mereka bernyanyi di otakmu hingga melekat.
Jika dan hanya jika kamu membacanya dalam-dalam.
Di dalam hatimu.
Dengan hatimu.
Namun yang kutahu hati itu sedang kau gadaikan dengan sebongkah batu.

HARUS MAU.


Kali ini sendirian di jalanan menuju tidak tahu. Hari ini dingin, namun mataku berkeringat. Napas terasa berat dan pandangan seperti lukisan Salvador Dali. Sekeliling larut. Larut sampai menurut. Menurut hingga lutut.
Mengapa sendirian rasanya tidak seenak tidur siang?

PEMBURU.


Selalu ada senyum yang menyemburat di antara kedua pipimu. Tersimpan di sana, aman, dan terkunci rapat. Senyum itu bukan untuk siapa-siapa; atau mungkin tertuju pada dia, namun kamu tidak pernah mengutarakannya.

Senyum tidak hanya ada di bibirmu, sorotan matamu yang lugas namun tak kaku juga mengaku. Seperti kepakkan sayap elang menuju mangsa yang berteriak di balik semak, matamu bergelora, menimbulkan rasa yang lebih dingin dari biasanya – menusuk tulang dan menolak untuk pulang.

“Hari ini aku dapat tiga. Kulubangi semua kepalanya. Sekarang duduklah di sini, aku hendak mengasah taringku dulu.”