Senin, 03 Februari 2014

hujan.

kau melolong.

hari ini tetap hujan. hidungmu basah. kau ingin mengeluh pada matahari, mengapa dia tak kunjung datang. namun suratmu tak pernah dibalasnya, surat yang kau bisikkan pada gorong-gorong dan percikan hujan. dia masih malu. langit masih abu-abu.

alunan musik yang lamban terus berputar di dalam angan. lagu-lagu di tahun sembilan puluhan. lagu yang punya mantra. memaksa. kau harus mendengarkannya.

lalu kau mengingatku.
aku yang berani.

matahari masih menyengat. aku mengenakan sepatu berduri. langkahku mantap dan dagu tegak berdiri. wajahku menyemu merah dengan kulit yang terbakar. aku bahagia. dan menyala.

kau tersenyum mengingat itu. dengan matamu yang sendu.

kau bukanlah aku yang seperti itu. yang berkelana mencari jejak sejarah. mengikat kencang tali sepatu untuk berlari melawan arah. aku dan kau serasa tak sedarah.
kulitku kuning pucat dan tak tega menopang yang berat-berat. hidungku selalu basah dan hanya bisa mendesah, membayangkan kapan matahari pulang dan kau tengah berlari kencang.

masih ada langit yang abu-abu pagi ini.

matahari masih pergi, aku tetap mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar