Selasa, 01 Oktober 2013

SEKANTUNG BAWANG.

Aku berlari senang membawa sekantung bawang yang kupetik tadi siang. Seperti lari tunggang langgang namun ada senyum yang mengembang. Enam bulan lamanya aku harus bersabar membawa penggaris dan berjongkok di tengah-tengah ladang – menunggu si bawang matang. Kini sekantung sudah di tangan dan siap untuk kupamerkan.
Kala itu sudah petang dan teman-teman telah menanti di belakang gudang. Ada sungai yang mengalir di samping jalan setapak – menemani degup jantungku. Alirannya beradu dengan bebatuan sehingga bunyi gemericik terdengar menggelitik. “Ini hari bahagia!” teriakku pada langit yang hampir abu-abu.
Seperti satu menit rasanya ketika sedang bahagia dan akhirnya sampai bertemu mereka – lima orang telanjang yang tengah duduk melingkar dan memandangi batu.
“Lihat ini! Ini kebanggaanku! Aku telah menunggunya selama enam bulan, kau pasti ingin juga!”
Mereka perlahan maju dan menghampiriku. Dua orang bergantian membuka kantung yang kusodorkan di hadapan mereka. Mereka terdiam.
Tiga orang lagi bergantian membuka kantungku. Mereka juga diam.

Aku ingin bertanya.

Mereka berpandang-pandangan sebentar. Sontak pecahlah tawa. Aku pun ikut serta! Mereka pasti ingin sekali menanam bawang dan menantinya matang – sepertiku. Ha ha ha!!

Satu orang berteriak padaku dengan lantang, “Kami tidak tertawa bersamamu, bodoh. Tapi kami menertawaimu!” Lalu membuncah lebih keras lagi suara tawa dan cemooh di tengah-tengah mereka. Kali ini tawa itu membentuk bulatan besar, sebesar sapi milik bibi Young, yang meninjuku dengan kuat.

“Kau pikir sekantung bawangmu ini keren? Kau kira dengan modal penggaris dan bersabar kau akan dinobatkan menjadi Mayor? Mungkin kau perlu tidur siang sambil kembali menyusu pada ibumu!” Sahut salah seorang dari mereka sambil terkekeh-kekeh.

Sekantung bawangku direnggut kemudian dibuang ke sungai. Butiran bawang yang besar-besar dan berkilau itu menyeruak dari kantung, ikut mengalir, dan sesekali terantuk batu – membuatku berpikir keras tentang sekantung bawang yang tidak bisa membeli persahabatan.

Langkahku gontai meninggalkan mereka yang masih telanjang dan kembali duduk melingkar lalu memandangi batu. Air mata tidak dapat kubendung karena kecewa. Pandanganku cair. “Mengapa tidak bisa lebih mudah?” tanyaku dalam hati.

Mengapa manusia selalu meminta untuk diberikan kehidupan yang mudah? Jika tidak kenal susah, bukankah akan cepat mati bosan? Hidupmu berpola dan berulang, seperti robot yang dikendalikan.
Permission declined.
Kamu memiliki hati. Memiliki intuisi.
Gunakanlah untuk bertarung melawan ketidakmudahan ini.

Langkahku terhenti. Ada daun kuning yang terjatuh di depan sepatuku. Bagaimana aku tidak tersenyum?

Mereka tertawa karena kamu memiliki sesuatu.
Mereka yang telanjang itu.