Jumat, 23 September 2011

gambar

selamat tinggal gambar yang tak berdetak
tersenyum statis, tak mau bicara
tempatmu memang di dalam pigura
yang dipajang di dinding, lalu dibicarakan tamu-tamu yang kehabisan cerita.

dadah.

sungguh, dadah.

Rabu, 21 September 2011

lompat tali

jangan paksa aku melompat. aku sulit bernapas, sibuk menghindari tali yang kau putar. tolong berhenti. aku hanya ingin tidur siang, dan lupa kalau kau adalah teman, yang senang membuatku keringatan.

Sabtu, 17 September 2011

terimakasih

atas senyuman yang tersungging setelah aku marah
tangan mengulur saat terpuruk malu
pelukan hangat kala badai menusuk tulang hampir mati

yang terlalu baik ini membuatku bingung

kenapa mau?

tapi terimakasih banyak
mari bergandengan dan saling bantu berdiri jika terjatuh
sampai tua sampai gigimu ompong semua

Intermezzo IV

"Kak, kenapa matamu abu-abu, tapi kau terus tertawa?"

"Tuntutan hidup, Dik. Jika tidak, krayonku patah semua."
kamu dan aku
meniup dandelion liar
dan kincir angin merah
pakai rok bunga-bunga
dan kamu pakai kemeja
kita tertawa
di kolong langit yang hangat
hari itu sangat tungsten
krayonku bertambah satu
merah tua

Minggu, 11 September 2011

aku, ayah, ibu, dan waktu

jika manusia dalam suatu rentang waktu dibatasi | aku hanya ingin hidup di masa ini | bersama orang tuaku yang manis dan hangat | saling berpelukan dalam selimut coklat tua | pintaku | jangan sekarang dulu | panggil aku terlebih dulu | inginku | dari mata terbuka hingga tutup usia | masih bersama ayah dan ibu | kesayangan | berpelukan selama Tuhan mengijinkan | berikan waktu yang banyak | ya Tuhan?

untuk langit

langit kesayangan,

jangan hujan dulu
gaun merahku sedang dijemur
untuk dikenakan saat menikah nanti

banyak yang akan datang
mengangkat gelas dengan riang
menari dalam tawa yang memabukkan

saatnya akan datang
bersabarlah jangan hujan
aku tidak mau pasanganku pergi
karena gaunku luntur tak merah lagi

tolong langit
mereka harus datang
berdiri dan tepuk tangan
menyambut kebahagiaan
saat rangkaian bunga kulemparkan

jangan sampai hujan datang..

Sabtu, 10 September 2011

pagi, hujan, dan spons

aku berteduh di balik hujan, pepohonan yang ramah menyuruhku menunggu lelehan air dari langit berhenti memukau semesta. hari itu aku hanya memakai celana pendek dan kaus tipis, lupa pakai alas kaki. aku senang sendiri menunggu di tempat seperti ini, setidaknya aku bisa berpikir sebentar-tentang apa saja. tentang masa depan nanti, tentang yang pernah dilewati, tentang apa yang muncul di mimpi, tentang arti menunggu, atau tentang patah hati. tanganku membelai putri malu yang tumbuh di balik batu, mereka menunduk dengan kemayu.
perutku bergetar, oh aku lapar. pagi tadi saat bangun aku langsung berlari kesini, aku ingin mengejar matahari pagi yang mungkin bisa kudapatkan baik-baik di sini. tadi ibu berteriak agar aku melahap roti panggang isi saus jeruk dulu, tapi aku hanya tertawa dan melanjutkan irama kakiku. yah, maaf ibu sekarang aku kelaparan dan langit masih menangis. mungkin jika menutup mata akan melupakan semuanya. gelap, dan biarkan alam yang berbicara.
tiba-tiba kudengar hal yang tak biasa. derap langkah yang besar dan mengguncang. aku pikir ini gempa, namun saat aku membuka mata, tampak pria bertubuh raksasa dari kejauhan. aku mundur, mendekap pohon, itu siapa?
di balik hujan ia terus berjalan. dia membawa sesuatu, sebuah mangkuk coklat yang ditutupi daun maple besar. dia berjalan ke arahku setengah berlari. aku mulai pasrah dan mata tak mau terkatup, menunggu hal besar akan mengubah hidupku. dia sudah tepat di depanku.
matanya berkaca-kaca dan pipinya kemerahan. tangannya mengarahkan mangkuk coklat itu ke depanku. aku mengambilnya sambil setengah tersenyum.
mangkuk ini hangat. sup krim jamur dengan potongan keju di atasnya memenuhi mangkuk ini. dia baik sekali. aku segera menyeruput sup ini, seperti sedang berbaring di kebun ilalang musim panas, hangat sekali.
aku tersenyum pada pria raksasa itu, dan ia membalas tersenyum. ia duduk di sebelahku dan terdiam. kami diam untuk waktu yang cukup lama. entah mengapa terasa begitu nyaman. kami berbicara dalam hati, tentang siapa dia, mengapa ada di sini, apa mimpi-mimpinya, apakah dia suka pada hujan, dan mendengar suara angin di musim semi.
kurasa aku terlalu banyak berkhayal, teman-teman sudah menguap jika kuceritakan mimpi-mimpiku. namun pria ini tidak. ia seolah menunggu sambil terdiam, dengan mata berkaca-kaca dan pipi merahnya. ia hangat, dan menyerap banjiran kata-kataku, seperti spons.
hujan berhenti, langit cerah lagi. mungkin ini saatnya kami pergi. aku memandangnya dan bertanya dalam hati, apa cuma hari ini?
ia mengambil mangkuk coklat dari tanganku. matanya membisikkan sesuatu, "tunggu di pagi hari saat lelehan langit menyapamu, kita akan duduk di sini, bersama rerumputan dan batu yang basah, lagi."

tawa renyah tak bisa kusembunyikan dari hadapannya. dengan telapak kaki penuh tanah basah aku berdiri setengah berlari ke rumah. pagi dan hujan, kembali datanglah. aku ingin memeluk spons itu, dan bercerita, sebanyak-banyaknya.

Jumat, 09 September 2011

jangan

warnanya abu-abu dan terlihat mulai jarang. aku memandanginya sambil minum teh hangat buatan ibu. kumis itu bergerak-gerak seiring bibir ayah yang naik turun bersuara, "kamu ngapain, sen?"

pandangi semua lekat-lekat namun belum terlalu puas, ayahku, yang diam saja jika aku tutup matanya, menurut saja, jika kucubiti pipinya yang sudah turun. dia diam karena sayang atau pasrah, entahlah. aku memeluknya dan mengikutinya kesana kemari berkeliling rumah. punggungnya hangat. bau pengharum pakaian begitu pas berada di kausnya. memang tidak begitu gagah, tapi badannya yang kendur itu menggoda untuk dicubiti, diajak menari. dia tidak marah. dan aku ingin menangis.

mimpi buruk menyapaku beberapa hari lalu. mobil merah marun pulang ke rumah dan kudapati jenazah ayah  di belakang mobil. aku berteriak dan tidak mau mengakui bungkusan kain putih itu ayahku yang tak lagi bernyawa. semuanya ramai dan menangis. aku kacau dan ingin ikut dengannya saja. apa yang akan terjadi jika dia tak ada?

tak bisa peluk punggung hangat, cubit pipi kendur, menari-nari saat andrea bocelli menggaung di radio, tidak ada pura-pura pintar di depan ayah dan membicarakan masa depan sambil memegang buku sajak dari lemarinya. tidak akan ada lagi sampai selamanya. kini aku harus membicarakan masa depanku sendirian, dan menari sendirian. tidak!

di tengah pecahnya keramaian pilu ini, aku melihat sosok transparan ayah yang sedikit kelihatan, tersenyum dari kejauhan seolah ingin berbicara,


"sensen jangan menangis. meski papa udah gak ada, papa akan selalu disampingmu, sayang. baik-baik, ya. yang kuat."

aku tersenyum dengan payah, dan menggeleng. tidak boleh sedih. dia ada disampingku. kematian fisiknya hanyalah kepastian biasa yang akhirnya datang juga. dia sudah menjadi roh abadi, namun tak bisa berinteraksi.


aku bangun. ini pukul tiga pagi, dan lelehan air mata jatuh di sana sini, sakit sekali. aku mencarinya, tapi tidak ada. ayah sedang di rumah satu lagi. mimpi ini karena apa, Tuhan? semoga hanya karena rindu saja.

hari ini pukul sebelas malam, ayah sudah pulang, kutemukan sedang tertidur di kamar, hanya punggung berbalut baju hijaunya yang kulihat.
ikut berbaring tidur, sambil memeluknya lekat.

"jangan pergi dulu, aku masih ingin dekat-dekat........"