Selasa, 26 April 2011

Mesin Waktu

Sepuluh tahun lagi, kami kembali pulang, dihantarkan angin dengan kereta masa depan.
Senyum menggelitik sebentar, lalu terdiam. Kemana saja aku barusan?

Kami kaku, diam tak ingin memadu. Aku tahu siapa kamu, tapi itu sepuluh tahun yang lalu.

Pria itu kini duduk tegap. Dia membetulkan kacamatanya dan menggenggam mesin waktu. Dia menghipnotisku untuk kembali, ke sepuluh tahun lalu.

Aku sigap. Ini bukan masa lalu. Individualis. Aku dan kamu. Tidak ada gelak tawa. Situasi itu dingin, dua orang pendatang berhati beku duduk termengu.

Hey, tidak ingin kembali?

Mungkin aku tidak mau berkompromi dengan hati. Siapa aku? Siapa kamu? Dimensi ini memisahkan kami. Siapa mau hati? Siapa mau kenangan? Aku ingin berbagi dengan kalian, tetapi bukan balas dendam. Masih ada sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun lagi untukku bernapas. Untukku menarik senyum, untukku berlari kegirangan.

Ingin dikesampingkan? Mau pilih yang mana? Biarkan hatiku bicara, ijinkan pikiranku luangkan inspirasi semu.
Acuhkan ragaku jika tak lagi disampingmu, menghiasi binaran mata indahmu...

"Sayang, aku kini bermimpi. Akan kuraih sendiri tanpa hati. Mungkin aku akan datang, sepuluh tahun lagi, bersama angin dengan kereta api yang sama, untukmu."

Teman Berbincang

"Senja percaya mimpi?" 


Kamu bertanya padaku sembari menghapus haru. Aku diam. Menunggu pertanyaan imajiner lainnya hingga kamu lelah dan kemudian bercerita.


Kamu bercerita. Tentang semua yang tersirat di anganmu. Tentang hidup, tentang filosofi kura-kura, tentang optimisme tak kunjung datang, tentang bekas mimpimu, tentang resep masakan, tentang negara ini, dan tentang cerita bodoh yang mengusik saraf humorku.


Aku menelannya bulat-bulat dan tersenyum hingga pagi datang lagi. Kamu masih terjaga di sisi sunyi dengan kedua matamu yang semakin turun ke pipi. Aku tertawa, menertawakanmu. Menertawakan kita. Menertawakan mereka. Menertawakan dunia. 


Kamu memutuskan untuk diam panjang lebar selama pagi hingga malam. Aku menunggu. Kamu berpikir. Dua cangkir kopi hangat memecahkan keheningan. Kita berdua duduk di meja ilusi, menghirup aroma kopi yang menari-nari sembari menatap sendu satu sama lain. Kita masih begini, dan berulang. Kita masih kadang berteriak dan menangis, lalu tertidur karena kelelahan beraspirasi. 


Gagasan demi gagasan tercipta karena berbincang. Untaian kata terajut karena terus bertanya. Berulang. Sampai kapan?
Sampai aku, kamu, dia, mereka, menemukan jalan pulang. Memaafkan. Melupakan. Meninggalkan. Menemukan. 

Jumat, 22 April 2011

Guinea Pig named Ploy

Like a comet
Blazing 'cross the evening sky
Gone too soon..

Like a rainbow
Fading in the twinkling of an eye
Gone too soon..

Shiny and sparkly
And splendidly bright
Here one day
Gone one night..

Like the loss of sunlight
On a cloudy afternoon
Gone too soon..

Like a castle
Built upon a sandy beach
Gone too soon..

Like a perfect flower
That is just beyond your reach
Gone too soon

Born to amuse, to inspire, to delight
Here one day
Gone one night..

Like a sunset
Dying with the rising of the moon
Gone too soon
Gone too soon..


Rest in love my lil' Ploy
Pim, Noir, Xena, and me love you so much
We'll missing you...

teman mengupas tawa



Mereka Xena dan Hercules. Sesuai dengan nama mereka, Xena adalah kura-kura perempuan yang kuat dan agresif. Dia senang mengigit kepala Hercules. Hercules juga kuat, tetapi pada Xena, dia sangat tunduk! Terbukti saat makan, yaa Hercu selalu membiarkan Xena terlebih dahulu melahap yang kuberikan pada mereka. Xena sayang Hercu. Hercu sayang Xena. Aku sayang mereka berdua. 
Sayangnya karena suatu masa, Hercu meninggal tanpa sepengetahuanku. Xena kuajak bicara saat kuketahui akhirnya dia jadi janda. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya penuh tanah merah. 'Tenang Xena, ayo kita pulang..' Lalu aku membawanya pulang dan sampai sekarang dia masih terdiam di ember merah ini, dan masih selalu pura-pura belum diberi makan.



Anjing terlugu, teraneh, terganteng sepanjang masa versi Senja! Saat umurnya 3bulan kutemukan kakinya berselaput dan senang berendam di dalam gentong teratai. Sejak kecil, aku seringkali mencubit pipinya, jadi sekarang.... tak heran liurnya menetes begitu hebat jika ia melihatku sedang mengunyah ayam goreng.
Aku sangat mencintai hidungnya. Dan dia diam saja jika ku siksa. Dan dia malu pada teman-teman perempuanku. Dan dia senang difoto.

Ini Steven. Masih ada Barbara dan Yellow, namun mereka sedang mandi. Steven angsa jantan yang pemberani dan cukup galak. Ia tak segan menyalak jika ada orang tak dikenalnya datang ke rumah. Ia dan Barbara saling mencintai, dan melahirkan anak bernama Yellow. Kini Barbara tengah mengerami 4 telur. Semoga saja semuanya menetas dan keluarga besar Steven semakin memenuhi rumahku.

Jumat, 15 April 2011

memandang memori.

melakukan napak tilas menyisir satu persatu waktu
ternyata semua telah hilang
sebuah kehilangan yang diyakini akan digantikan dengan pengganti namun satu dua lima tahun melihat yang lain dan kau hanya berbicara pada angin yang bisa terbang

kau menggenggam pasir pantai dan bersikeras membawanya pulang
sesampainya di rumah, kau ditertawakan buih yang tersisa

senyum itu memang ada saat melihatmu tertawa
namun napas tersengal ini tak juga berhenti menahuni
memang butuh pengganti.

kangen.

ingin lari kepadamu
memukulmu hingga napas tersengal
menangis

memang harus diakhiri titik
aku kangen.