Minggu, 14 Agustus 2011

miskin

Aku mengejar lampu-lampu menyala terang yang membuat pusing. Kakakku menyuruh kami untuk naik jembatan besi yang berbunyi krek krek krek setiap kami melangkah. Di tengah tanjakan aku melihat anak dan ibunya yang menggenggam aqua gelasan sambil menunduk. Langkah selanjutnya kutemukan nenek yang sedang mengelap lelehan air di pipinya dengan baju hitam usang yang dikenakan. Aku terheran lalu merogoh uang di kantong celanaku, dan menemukan selembar lima ribu dan dua puluh ribu. Aku berpikir untuk tidak memberinya karena aku tidak punya recehan. Apalah arti lima ribu untukku? Membeli sebuah minuman berwarna yang buatku cepat mati? 

Aku memasukkan lagi uang-uang 'mahal' ku itu kembali ke celana dan terus melangkah. Banyak barang yang dijaja di sana. Kacamata, buku bajakan, ikat pinggang, amplop untuk lebaran, dan lainnya di sebelah kiri. Di sebelah kanan aku berpapasan dengan anak kecil yang berjalan tanpa alas kaki, tengah menghisap rokok dalam-dalam tanpa peduli bahaya kebulan asap itu telah merasuki tubuhnya. Kenapa?

Jalan menanjak terasa cukup capai. Sungguh gerah dan ingin segera sampai. Namun orang-orang yang mengadu hidup disana seakan tidak perduli demi mengais sesendok nasi untuk hidup setidaknya hingga besok pagi. 

Seharusnya aku bersyukur. Banyak bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar