Rabu, 30 November 2011

baik saja

ada misteri di balik dinding yang terus menerus basah -- cat mengelusnya setiap hari namun selalu muncul rembesan yang menjengkelkan. misteri yang kupandangi setiap mendengar lagu sedih. mengapa langit bisa berwarna abu-abu seturut perasaanku? aku berlari tak tahu kemana sambil menutup mata. baju hitamku terkoyak oleh sesuatu yang tajam, mungkin kaca atau kata-katamu. aku bernyanyi seadanya sambil memayungkan mata yang setengah basah. dimana? tidak tahu. yang penting tidak ada kamu.

mengapa setiap menulis aku tidak tahu apa yang ingin kutulis kemudian setelah menekan spasi aku berbalik lagi ke kata sebelumnya, 'kau mau bicara apa sih, bodoh..' umpatku sendiri.

sebuah mimpi yang indah terjadi ketika langit tungsten dan aku memeluk Ayah dari belakang, yang tengah membaca buku Pramoedya Ananta Toer di joglo rumah kayu dan sayup sayup angsa bernyanyi. mimpi yang sempurna ketika kami bersama-sama makan mangga, Ayah mengupasnya untukku, dan kami membicarakan masa depan -- aku pura-pura pintar dan menanyakan apa saja padanya, dan ia menjawab dengan improvisasinya. Ayah, yang dulu ingin sekali kuliah filsafat, ingin aku masuk filsafat, dan sekarang ingin pensiun sambil melanjutkan kuliah menjadi filsuf. diamnya memberikan pengetahuan. senyumnya memancarkan jiwa raganya yang ia berikan hanya untuk keluargaku. hanya untuk aku. tidak pernah mengeluh -- cuma sesekali meminta digaruk punggungnya.

ketika suatu hari aku terjatuh lemah dan mengaku pada Ayah, ia mengangkatku tinggi-tinggi dan mengajakku untuk menangis bersama. Ayah yang diam dan menyukai kayu, berjanji bahwa semuanya akan baik saja. Dan kita bisa duduk bersama lagi, kali ini aku yang diminta mengupas mangga. Uluran tangannya kubalas dengan isak tangis tak berdaya, isak tangis bersyukur. Sungguh seorang Ayah yang begitu manis dan penuh perhatian, hanya ingin hidup untuk menghidupi anak-anaknya, untuk melihat kami bahagia, untuk menghalau ketakutan yang tidak ingin kulihat............ untuk menjadi Ayahku yang hebat.

dinding ini semakin merembes begitu kuat, Ayah. aku sedang menunggu datangnya hari Jumat dan semuanya akan baik saja. kali ini aku berjanji untuk diriku sendiri, untuk kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar