menenun pelangi, dengan jaring laba-laba
menunggu hujan berhenti di ujung jemari
kerudung renda-rendaku naik turun
tidak sabar lagi melayangkan pelangi!
satu, dua, tiga hari
hujan tidak mau pergi
bagaimana ini, bagaimana ini
tenunan pelangi disapu Tsunami
aku menangisi serpihan pelangi mati
jemari memutih dan keriput, membenamkan diri pada Tsunami lama-lama
langkah gontai dan memikul lirih
menuju kepasrahan yang tidak terarah, mau kemana
jaring laba-laba pembuat pelangi
aku berharap untaian ini saling mengikat, menguatkan, mewarnai,
menggembirakan
aku menadahi lelehan pipi
menyunggingkan bibirku dan sedikit tertawa
"Ini sungguh pedih...."
ucapku sembari membetulkan kerudung hitam renda-renda
semua mimpi yang kurajut dengan ekspektasi tinggi berupa
sebuah pelangi melintas di langit sore-sore
terbawa arus, lenyap, dan mati
"Hujan, kapan kau datang lagi? Bawalah aku serta-mertamu, dan janganlah pergi sebelum jiwa ini terarak mati."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar